Sejarah Kerajaan Gowa Tallo, Pernah Dipimpin oleh Raja Dijuluki Ayam Jantan dari Timur

Setelah Batara Gowa menang, kemudian Karaeng Loe ri Sero turun ke muara Sungai Tallo dan mendirikan Kerajaan Tallo. Selama bertahun-tahun, dua kerajaan bersaudara ini tidak pernah memiliki hubungan yang baik.
Akhirnya, Raja Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna dari Gowa membuat perjanjian dengan Tallo dalam kesepakatan "dua raja tetapi satu rakyat" pada 1565.
Perjanjian tersebut menyatakan, kedua kerajaan tidak boleh saling melawan. Setelah bersatu kembali, kerajaan ini disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar dengan sistem pembagian kekuasaan.
Kedua kerajaan akhirnya bersatu dengan kesepakatan dua raja yaitu seorang raja yang berasal dari garis keturunan Gowa dan perdana menteri berasal dari garis Tallo.
Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar ini memeluk agama Islam pada 1605, setelah Sultan Alauddin I (I Mangarangi Daeng Manrabbia) naik takhta untuk memimpin kerajaan.
Sejak itu, kerajaan ini disebut sebagai Kesultanan Gowa-Tallo atau Kesultanan Makassar.
Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaannya saat berada di masa kepemimpinan Sultan Alauddin I dan Sultan Hasanuddin ( I Mallombasi Daeng Mattawang), di mana Raja Gowa ke-16 ini berhasil memajukan pendidikan dan kebudayaan Gowa Tallo.
Bahkan dia memiliki gelar pahlawan nasional dengan julukan, Ayam Jantan dari Timur yang berarti tak mudah terpengaruh oleh bangsa asing.
Sosok Sultan Hasanuddin terkenal dengan keberaniannya yang menentang keras kehadiran VOC dalam perang Makassar (1666-1669), saat itu VOC menguasai sebagian kerajaan-kerajaan kecil yang berada di Sulawesi.
Kerajaan Gowa Tallo juga menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur, di mana banyak saudagar muslim dari berbagai wilayah datang ke Gowa untuk berdagang. Sementara itu, Kerajaan Gowa sebagian masyarakatnya juga berprofesi sebagai nelayan.
Adanya kebebasan berdagang di laut lepas menjadi garis kebijakan Kerajaan Gowa Tallo pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin 1651-1670. Namun, VOC menentang hak tersebut dan menimbulkan perseteruan yang membuat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.
Peperangan terus terjadi antara Kerajaan Gowa dengan VOC yang membuat kerugian cukup besar dari kedua belah pihak.
Perlawanan sengit yang terus dilakukan oleh Sultan Hasanuddin dan Karaeng Pattingalloang terhadap VOC. Pada akhirnya mereka harus menyerah setelah VOC berhasil merebut benteng utama Kesultanan Gowa-Tallo di Somba Opu pada 1669.
Sultan Hasanuddin akhirnya menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667 untuk mengakui kedaulatan VOC atas Maluku dan sebagian besar wilayah yang berada di Kesultanan Gowa-Tallo.
Sultan Hasanuddin mulai kehilangan pengaruhnya di Sulawesi dan turun Tahta serta mengundurkan diri dari kerajaan. Hal ini disebabkan karena Perjanjian Bongaya yang menjadi runtuhnya Kesultanan Gowa Tallo.
Pada 1905, Kesultanan Gowa-Tallo resmi dihapuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan diganti dengan pemerintahan sipil.
Selain itu, Kerajaan Gowa Tallo atau Kesultanan Makassar mulai mengalami transisi kepemimpinan. Saat dipimpin oleh Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, kesultanan ini resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Editor: Kurnia Illahi