Pakar hukum tata negara Refly Harun. (Foto: Sindonews)

JAKARTA, iNews.id – Putusan PT TUN Makassar yang dikuatkan Mahkamah Agung (MA) tentang pembatalan keputusan KPU Makassar terkait penetapan pasangan calon wali kota dan wakil wali kota, Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi), dinilai tidak adil.

Putusan itu mencederai prinsip-prinsip berdemokrasi. Demokrasi seharusnya membuka pintu selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin bertarung. Baru kemudian, setelah pintu dibuka, prosedurnya yang harus ketat.

"Kalau ini terlihat seperti ada sebuah skenario untuk menjegal calon tertentu dan kemudian membuat calon lainnya melenggang karena kemudian tidak ada lagi lawan,” ujar pakar hukum tata negara, Refly Harun di Jakarta, Kamis (26/4/2018).

MA, Senin (23/4/2018) lalu menolak permohonan kasasi yang diajukan KPU Makassar atas putusan PT TUN Makassar. Sebelumnya, PT TUN Makassar mengabulkan gugatan pasangan Munafri Arifuddin-A Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang meminta pembatalan keputusan KPU Makassar terkait penetapan pasangan DIAmi.

Refly Harun berpandangan, kalau mengacu prosedur hukum biasa, polemik masalah ini sudah selesai. Namun, menurutnya, kalau bicara hukum, seharusnya juga mempertimbangkan aspek keadilan.

“Karena itu saya menganggap, seharusnya bisa dimintakan peninjauan kembali (PK). Memang prosedur ini tidak ada dan tidak diatur dalam UU Pilkada, tetapi pernah dilakukan oleh MA paling tidak dua kali dalam catatan saya," kata Refly.

Pertama, pada Pilkada Depok tahun 2005-2006, dan kedua pada Pilkada Sulsel sekitar tahun 2007. Waktu Pilkada Depok, ketika Pengadilan Tinggi Jawa Barat membuat putusan aneh, akhirnya ditinjau kembali oleh MA dan kemudian dibatalkan. Ada pun pada kasus Pilkada Sulsel di 2007, putusannya membuat Pilkada tidak bisa dilaksanakan karena pada waktu itu perintahnya melaksanakan pilkada ulang.

“Bagaimana melaksanakan pilkada ulang, padahal pilkadanya belum selesai. Akhirnya putusannya itu ditinjau kembali dan dibuat putusan yang baru, yang relatif menyelesaikan persoalan,” kata Refly.

Refly menilai, proses di PT TUN ada nuansa ketidakadilan. Pihak yang bakal dirugikan oleh putusan PT TUN tidak diberi kesempatan memberikan penjelasan sebagai tergugat. “Padahal seharusnya, pengadilan mendengarkan kedua belah pihak, tidak salah satu pihak saja, terutama pihak yang akan dirugikan,” katanya.


Editor : Azhar Azis

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network