Sejarah Kota Kendari, Berawal Dibukanya Teluk Kendari
JAKARTA, iNews.id - Sejarah Kota Kendari berawal dari terbukanya Teluk Kendari yang menjadi pelabuhan para pedagang, khususnya pedagang Bajo dan Bugis sekaligus bermukim di sekitaran Teluk Kendari. Kendari sendiri merupakan ibu kota dari Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dikutip dari situs Kendarikota.go.id. sejak dahulu Teluk Kendari telah dikenal oleh pelaut-pelaut nusantara maupun eropa sebagai jalur persinggahan perdagangan laut dari dan menuju Ternate atau Maluku.
Nama Kendari sendiri berasal dari kata 'Kandai' yang artinya alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan penduduk teluk Kendari untuk mendorong perahu.
Dari kata Kandai inilah kemudian diabadikan menjadi Kampung Kandai dan pengembangan dari kata Kandai selanjutnya dalam berbagai literature terakhir disebut Kendari.
Pada Kartografi Portugis kuno awal abad ke-15 telah menunjukkan adanya perkampungan di Pantai Timur Celebes atau Sulawesi yang dinamakan Citta dela Baia di pesisir teluk bernama Baia du Tivora yang identik dengan Teluk Kendari.
Pada tahun 1828, seorang pelaut bernama Jacques Nicholas Vosmaer mendapat tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan observasi terhadap jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi.
Peta pertama Teluk Kendari dibuat pada 9 Mei 1831 dan sejak 6 Februari 1835 teluk Kendari disebut sebagai Vosmaer’s Baai atau Teluk Vosmaer melalui Surat Keputusan Jenderal Van Den Bosch di Batavia.
Dalam catatan perjalanannya yang berjudul Korte Beschrijving van het zuid oostelijk schiereiland van Celebes, Vosmaer menuliskan tertarik akan keindahan Teluk Kendari.
Setelah mendapat izin dari Tebau sebagai penguasa wilayah timur Kerajaan Konawe pada tahun 1932, Vosmaer kemudian mendirikan kantor dagang dan membuatkan istana Tebau dari Lepo-Lepo ke Teluk Kendari. Hal inilah yang merupakan titik tolak perkembangan Kendari menjadi kota pusat pemerintahan dan perdagangan.
Setiap tanggal 9 Mei pada waktu itu dan sekarang tanggal itu dirayakan sebagai hari jadi Kota Kendari.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, Kendari hanya seluas 31,40 km2. Pada zaman kolonial Belanda, Kendari Ibu Kota adalah Kewedanan dan Ibu Kota Onder Afdeling Laiwoi.
Kendari berubah dari ibu kota kecamatan kemudian berkembang menjadi ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959.
Penerbitan Perpu Nomor 2 Tahun 1964 Jo. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964, menandai ditetapkannya Kendari sebagai Ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara yang masih terdiri dari dua wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan Mandonga dengan pertambahan luas wilayah 75,76 km2.
Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1978 mengubah status Kendari menjadi Kota Administratif yang meliputi tiga wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kendari, Mandonga dan Poasia dengan 24 desa.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Kendari, maka dikeluarkanlah Undang-undang nomor 6 tahun 1995 yang menetapkan Kota Kendari sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II dengan luas wilaya 298,89 km2 atau 0,7 persen dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara.
Editor: Candra Setia Budi