Mengenal Paruki’ dan Sarita, Kain Tenun Suku Toraja yang Digunakan dalam Upacara Sakral

JAKARTA, iNews.id - Bagi warga Suku Toraja pasti sudah tahu dengan kain tenun Paruki’ dan Sarita. Ya, kain ini penting dalam setiap upacara adat dan keagamaan suku Toraja.
Tenun Toraja berasal dari daerah Sa‟dan, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Keberadaan kain tenun ini sangat penting dalam upacara Rambu Solo' (kematian) dan Rambu Tuka (kehidupan). Tenun Toraja bukanlah kain sembarangan, karena memiliki tempat yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja.
Kain tenun bagi masyarakat Toraja ini memiliki makna yang tersirat di dalam setiap motif dan coraknya. Kain tenun Toraja dapat dilihat dari tekstur, motif dan warna yang khas.
Untuk kain tenun paruki’ sendiri terbuat dari serat kapas yang telah dipintal, sehingga kain yang dihasilkan cukup kasar dan berat.
Tenun paruki’ memiliki satu motif, yaitu pa’sekong kandaure. Motif ini disebut sebagai lambang kebesaran perempuan toraja. Ketika seorang wanita meninggal, kain dengan motif ini akan dipasangkan pada peti mati.
Sedangkan untuk kain sarita adalah kain yang hanya dikenakan oleh parengnge’ (pemuka adat) dan patutungan bia’/tominaa (pemuka agama). Bagi masyarakat Toraja, kain sarita sangat sakral karena digunakan sebagai hiasan dalam upacara rambu solo’.
Kain Sarita sendiri memiliki motif unik yang digunakan sebagai penolak roh jahat. Kegunaannya dalam upacara adat antara lain sebagai penghubung antara manusia dengan nenek moyangnya.
Sehingga dengan hanya melihat penggunaan kain Sarita pada pesta yang sedang berlangsung kita sudah dapat mengetahui bahwa orang dipestakan adalah dari keturunan bangsawan.
Corak-corak yang terdapat pada kain Sarita pun bermacam-macam serperti corak (motif) kerbau, ayam, babi, motif ukiran matahari, maupun motif Tau-tau, motif-motif tersebut melambangkan nilai tingkat sosial (Status sosial) dan kekayaan si pemilik kain.
Kain sarita tidak hanya dipakai oleh manusia, tapi juga pada hewan atau benda utama dalam upacara, seperti dilingkarkan pada kerbau dan babi yang hendak disembelih, menjadi hiasan penari, dipasang di ujung lakkean (pondok tempat orang meninggal), dipasang di tiang rumah Tongkonan, dan menjadi hiasan peti mati.
Kain sarita hanya dipasang dalam upacara rambu solo’ jika yang meninggal itu keturunan bangsawan dan syukuran diadakan di rumah Tongkonan.
Masyarakat Toraja percaya, kain sarita dapat menolak roh jahat. Itulah gunanya kain sarita sebagai penghubung antara manusia dengan nenek moyang.
Editor: Candra Setia Budi