Kisah Nenek Pakande, Cerita Rakyat asal Sulsel Pemangsa Anak-anak
JAKARTA, iNews.id - Kisah Nenek Pakande adalah cerita rakyat dari Sulawesi Selatan (Sulsel). Dalam cerita rakyat Bugis, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok nenek tua yang suka menculik dan memakan atau memangsa anak-anak yang bermain di luar rumah.
Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia.
Dia disebut-sebut biasa berkeliaran di sekitar desa atau kampung. Sebenarnya penampilan dari nenek tersebut biasa saja sama seperti para perempuan tua lain yang memiliki kulit keriput dan juga rambut yang sudah beruban.
Nenek Pakande menculik anak kecil saat mereka sedang asyik berkeluyuran dan bermain di luar rumah. Hal itu dilakukannya karena dianggap lebih mudah daripada menculiknya di dalam rumah.
Namun, kisah Nenek Pakande banyak versi. Versi lainnya menceritakan bahwa nenek ini hendak memakan hati dua anak laki-laki saat mereka besar.
Dikutip dari Repositori.kemdikbud.go.id. Dikisahkan, ada dua orang anak-anak laki-laki bersaduara sang kakak berumur lima tahun, dan adiknya berumur dua tahun. Kedua anak itu mempunyai ibu tiri.
Bapak kedua anak itu pekerjaannya berkebun. Jadi. kalau bapaknya keluar pada pagi hari, kembalinya tengah hari. Kedua anak itu tinggal di rumah dengan ibu tirinya.
Ibu tiri kedua anak itu sangat tidak menyukai kedua anak tirinya, bila sang ayah kedua anak itu tidak ada di rumah ia tidak memberinya makan.
Namun, bila ia melihat bapak kedua anak ini datang dari kebun sang ibu segera membawa kedua anak itu ke dapur, kemudian mengambil nasi, muka kedua anak tirinya dibedaki dengan nasi. Begitulah keadaan kedua anak itu tiap-tiap hari.
Pada suatu hari, kedua anak itu bermain di muka rumah dengan baku lempar raga. Pernah terjadi waktu bola raga dilemparkan bola raga itu masuk mengenai tamu ibu tirinya, sang ibu ibu tiri sangat marah kepada keduanya.
Karena sangat marah, ibu tirinya merasa senang jika makan hati kedua anak itu. Setelah bapak kedua anak itu datang dari kebun, ibu tirinya pun mengadu pada suaminya bahwa sifat kedua anaknya sudah tidak baik.
Sang ayah yang tidak sampai hati melihat anaknya dibunuh di rumahnya, kemudian diambil hatinya, terpaksa dipanggillah tetangganya.
Tetangga itulah yang mengatakan, 'tidak, lebih baik saya yang membunuh anak itu. Nanti saya yang membawa ke hutan. kemudian di situ saya bunuh. Hatinya saya bawakan kepadamu'.
Kemudian, diambilah anak itu oleh tetangganya, kemudian dibawa ke pinggir hutan. Ketika sampai di pinggir hutan menolehlah orang yang akan membunuhnya itu, ia sangat belas kasihan melihat kedua anak tersebut.
Akhirnya ia menangkap seekor binatang. Binatang itulah yang diambil hatinya. Orang itu berpesan kepada kedua anak tersebut katanya, 'engkau sekarang, tidak usah kembali lagi ke kampung. Buanglah dirimu', sesudah berkata demikian, tetangga kedua anak itu membawa hati binatang, kemudian hati binatang itu diserahkan ke ibu tiri kedua
anak tadi.
Si ibu tiri barulah merasa senang karena di rumah tidak ada lagi anak tirinya. Tinggal ia sendiri yang memiliki semua penghasilan suaminya.
Kedua anak laki-laki bersaudara itu berjalan terus hingga meliwati tujuh gunung dan tujuh bukit panjang. Akhirnya, sampailah di sebuah
hutan.
Mereka masuk ke dalam hutan itu, kira-kira setengah hari sesudah memasuki hutan belantara. mereka mendapati sebuah rumah. Keduanya pun terus masuk dan tidak ada orang yang ditemuinya.
Di dalam rumah itu sangat kotor dan tidak teratur isinya. Tulang-tulang berserakan di situ. Ada tulang paha kerbau dan tulang kambing. Bermacam-macam tulang terdapat di situ.
Di dalam rumah itu ada juga beras. Di samping itu, bermacam-macam makanan terdapat di dalamnya. Oleh karena kedua anak ini sangat lapar, keduanya segera mencari yang empunya rumah untuk meminta sesuatu yang dapat dimakan, tetapi yang punya rumah tidak ditemuinya.
Mereka kemudian mengambil makanan, lalu dimakannya. Sesudah makan mereka duduk berhadap-hadapan. Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara seperti guntur.
"Eh, ada yang berbau manusia, ada yang berbau manusia!". kata Nenek Pakande.
Kedua anak itu pun sadar bahwa rumah itu adalah rumah Nenek Pakande yang biasa diceritakan orang.
Ia dinamai Nenek Pakande karena badannya besar, dan suka makan orang. Bila macan atau kerbau dibakar, kemudian terus dimakan. Bila orang, biasanya dimakan mentah saja. Dengan demikian, dinamai Nenek Pakande.
Waktu naik ke rumah berkatalah Nenek Pakande,
"Siapakah engkau cucu-Cucu?" dijawab oleh kedua anak itu.
"Sayalah orang tidak beribu. Bapak sudah beristeri lagi, terpaksa saya membuang diri. Hal ini yang menyebabkan saya sampai di rumah ini" kata anak-anak itu.
"Baiklah, tinggallah di sini cucu-Cucu, kau jaga rumah sebab saya selalu berpergian. Ada barang-barang cukup banyak di dalam rumah. Jadi cocoklah. tinggallah di sini, engkaulah yang menjaga rumah kalau saya berpergian," kata Nenek Pakande
"sudah makankah cucu-Cucu?". Lalu mereka menjawab, "Sudah"
"Makan terus supaya cepat besar" ujar sang nenek.
"Bagaimana hatimu Cucu?" Dijawab, "Baru sebesar potongan beras". "Makanlah-makanlah, supaya engkau Iekas besar" kata Nenek Pakenda lagi.
Setelah itu, kedua saudara ini selalu menjaga rumah Nenek Pakande dari pagi sampai sore. Nenek Pakande biasanya pulang membawa pulang rusa, babi, juga binatang hutan lainnya.
Sesampianya di rumah, Nenenk Pakande menanyakan hati mereka.
"Bagaimana hatimu Cucu?" dijawabnya, "Baru sebesar telur itik. Nek .
Sang nenek lalu berkata "Makan terus". Kedua anak itu tidak lagi memikirkan makanan karena Nenek Pakande yang mencarinya.
Ringkas cerita, besarlah kedua anak itu dan memerhatikan keadaan neneknya bahwa Nenek Pakande biasa menggantungkan sebuah botol di loteng. Mereka lalu bertanya kepada sang nenek.
"Apakah isi botol yang tergantung itu Nenek?" Dijawab. "Jangan cucu pegang-pegang karena itulah tempat nyawaku". Setelah itu, sang nenek menanyakan hati anak kedua tersebut, "Bagaimana hatimu?" lalu dijawab, "Sudah seperti bakul-bakul".
"Makanlah-makanlah supaya engkau menjadi besar!" kata Nenek Pakande.
Lalu sang nenek bertanya lagi, "Sudah sebesar apa hatimu Cucu?" ujarnya.
Dijawab kedua anak itu, "Sudah sebesar nenek, sudah boleh kau makan," kata keduanya.
Kemudian Nenek Pakande meminta mereka untuk bangun pagi.
"Besok, subuh-subuh engkau bangun membuat ketan pulut hitam, kemudian engkau makan sampai kenyang. Semua sisa makanan kamu simpan saja karena saya akan pergi ke pinggir hutan," ungkap sang nenek.
Sadar hati mereka akan dimakan sang nenek, kedua anak itu kemudian mengatakan kepada sang nenek untuk tidur.
"Pergilah tidur nenek, jangan sampai larut malam karena besok engkau akan pergi," ujar mereka.
Lalu dijawab sang nenek, "Baiklah, engkau juga pergilah tidur," ujarnya.
Keesokan harinya, mereka bangun cepat lalu menyuruh adiknya memasak.
"Baiklah untuk terakhir kali kita makan di sini". kata Si Sulung.
Kemudian mereka mempersiapkan rencana untuk kabur. Sang kakak lalu memeriksa kuda milik Nenek Pakande.
Kemudian sang kakak juga naik ke atas rumah dan berpesan kepada cicak.
"Bila Nenek Pakande kembali nanti, dan ia memanggil dari bawah tanah, menyahutlah, 'Saya di rumah'. Bila memanggil dari rumah,
menyahutlah, "Saya di loteng". Bila memanggil dari loteng, menyahutlah, "Saya di puncak rumah,", kata mereka kepada cicak.
Karena kasian, sang cicak kemudian membantunya. Setelah makan, mereka lalu pergi dengan salah satu kuda milik Nenenk Pakande. Sebelum pergi, mereka membawa botol di atas loteng ruma
"Ada botol nyawa Nenek Pakande di loteng engkau naik dan mengambilnya, kita bawa pergi," kata sang kakak kepada adiknya.
Setelah mereka pergi, datanglah Nenek Pakande terbangun. Waktu tiba di pekarangan dan memanggil mereka. dan naik ke atas rumah namun tidak menemui keduanya.
"Oh cucu-Cucu di mana kamu berada?"
"Ada, saya di sini Nenek". kata si cicak.
Nenek itu melompat lagi naik ke loteng lalu memanggil lagi.
"Oh Cucu-Cucu di mana engkau berada?" menyahut lagi cicak di puncak rumah. Katanya, "Saya di puncak rumah,".
Nenek Pakande terus naik ke puncak rumah, tetapi tidak ditemui cucunya. Saat itu sang nenek melihat kudanya sayup-sayup di muka.
Sang nenek lalu mengejar kedua anak tersebut dengan menggunakan kudanya. Tiada berapa lama berkejar-kejaran, kedua anak itu pun sudah mulai tampak.
Saat Nenek Pakande sudah mendekati mereka, si Bungsu selalu berteriak ketakutan.
"Celakalah kita kakak, celakalah kita Kakak.. sudah dekat Nenek Pakande. sudah dekat," kata sang adik.
Sang kakak yang mengetahui lau menjawabnya, "Biarkan. biarkan". katanya.
Kemudian, si sulung berteriak, 'lemparkan, lemparkan botol tempat nyawa Nenek Pakande!" Sang adik dengan cepat melemparkan botol itu ke bawah dan mengenai batu hingga pecah. Botol pecah Nenek Pakande pun mati.
Editor: Candra Setia Budi